Kisah Kakek Tua Penjual Rujak Bebeg dan Si Tangan Kiri

Di siang yang panas dan matahari sedang terik-teriknya, tiba-tiba terdengar kakakku berkata , Ran tolong susul Ibu ya. Aku cari-cari di sekitar rumah dan di dalam rumah memang Ibu tak ada di sini. Ke mana perginya ya Ibu, pikirku. Kakakku berkata bahwa Ibu pergi ke pasar. Saat itu kondisi Ibu sedang tidak fit. Aku pun segera menyusul Ibu yang sudah berangkat terlebih dahulu ke Pasar Anyar, Bogor. Ibu suka naik kereta commuter line, namun sayangnya ia sering lupa membawa tiket. Tak perlu ke jelaskan lebih jauh karena ini bukan saatnya melucu. Hehe


Berjalan sesaat, aku pun tiba di jalan yang sering dilintasi angkot menuju ke stasiun. Beberapa menit berdiri, angkot akhirnya datang. Aku pun naik dengan isi kepala yang penuh tanya. Ibu kenapa ke sana jauh-jauh sendirian ya, pikirku. Ah gak usah berpikir macam-macam, pikirku. 


Sekitar 10 menitan kemudian aku pun tiba di stasiun. Tanpa mengantri membeli tiket, dengan tiket khusus aku melewati tap gateway. Beberapa saat kemudian, kereta jurusan Jakarta-Bogor akhirnya tiba. Aku pun naik dengan santai, tak perlu mencari tempat duduk tapi cukup dengan berdiri hanya beberapa menit sudah sampai di tujuanku yaitu stasiun besar Bogor. 




Tak lama kemudian, aku tiba di stasiun besar Bogor. Aku pun berjalan kaki menuju Pasar Anyar Bogor. Untuk jarak yang dekat ini, aku lebih suka berjalan kaki karena sambil melihat-lihat keadaan sekitar juga sambil olah rasa. Masih seperti tahun-tahun sebelumnya, stasiun Bogor masih sejuk terasa. Berbeda dengan stasiun-stasiun lainnya. Stasiun Bogor memang unik dan akan selalu terkesan di hati. 




Berjalan pelan-pelan sambil menikmati keadaan sekitar, aku pun tiba di sebuah mesjid. Mesjid ini cukup megah dan begitu sejuk terasa di sekitarnya. Aku yang tujuan awalnya menjemput Ibu, maka aku duduk di sebuah ruko kosong dekat mesjid dan lalu menelepon Ibu. 


Beberapa kali tak diangkat, akhirnya ada yang mengangkat teleponnya. Ini bukan suara Ibu, pikirku. Rupanya ia masih saudara dengan Ibu. Ibu ternyata ada bersamanya. Cukup lega mendengarnya, lalu aku memutuskan melanjutkan menunggu Ibu di ruko kosong ini. Dari tempat ini terlihat ada seseorang yang menjual makanan yang dipanggulnya.


Ku hampirinya, ternyata seorang kakek yang sudah tua yang memanggul dagangannya. Badannya kurus, rambutnya putih ditutupi oleh sebuah topi.  Kakek tua ini menjual makanan yang akrab dengan kita yaitu rujak. Bukan rujak biasa, namun rujak bebeg. Masih ada 3 antrian orang lagi, aku pun menunggu dengan sabar.  Aku pun berjongkok karena rasanya gak sopan berdiri di atas orang tua yang sedang duduk.



Kakek tua ini tak banyak bicara semenjak aku menunggu dalam antrian. Salah satunya ada seorang bapak-bapak yang masih cukup muda. Umurnya diperkirakan sekitar 40-an. Badannya besar dan wajahnya khas pulau seberang. Pesanan rujak bebeg bapak ini sudah jadi. Bapak tua penjual rujak bebeg ini pun menyerahkan rujak pesanannya. Hendak membayar, bapak yang berbadan tambun ini pun mengambil uang dari sakunya. Ia pun menyerahkan uang ke kakek tua itu.



Menyaksikan ia menyerahkan uang ke kakek tua ini, tiba-tiba tensi darahku meninggi. Bagaimana tidak darah tinggi, orang yang berbadan tambun ini memberikan uangnya dengan tangan kiri. Dalam hati ini berkata, sabar ya kek. Tak ada rasa bersalah sedikitpun di wajah bapak muda ini. Semestinya kita yang lebih muda menghargai orang yang lebih tua dari kita. Bukan seperti yang ku saksikan ini, memberi dengan tangan kiri. Semoga orang-orang seperti ini diberikan pelajaran akan etika dan sopan santun agar lebih menghargai dan tidak menyakiti perasaan orang lain. 



Mau terus dapat informasi terbaru dari aku ? Subscribe Blog Ini yahh.. :

4 Responses to "Kisah Kakek Tua Penjual Rujak Bebeg dan Si Tangan Kiri"