Om, lihat mulutku deh om.. ucap seorang bocah kecil yang
menghampiriku. Sambil membuka mulutnya lebar-lebar, dengan menujuk ke dalam
mulutnya dengan jari telunjuknya. Dengan polosnya bocah kecil itu meyakinkanku
bahwa ia tidak merokok.
Di sebuah bis semalam kami bertemu. Setelah dengan percaya
diri dan begitu polosnya ia meyakinkanku bahwa ia bukan perokok, ia mendekatiku
lebih dekat dan mencolek kakiku. Lalu ia berkata, om .. bagi duit, aku ngamen. Tak
ada nada tinggi yang keluar dari mulutnya. Hanya nada polos dan manja yang
terucap darinya. Ini bukan pertama kalinya kami bertemu. Tepat pada malam
sebelumnya, kami bertemu di bis yang berbeda namun di tempat yang sama.
Pada malam sebelumnya dari kursi belakang, ku perhatikan
dirinya. Terlihat ia sedang meminta uang kepada seorang bapak yang sedang duduk
di kursi bis bagian depan. Namun bapak itu meresponnya dengan garang, bahkan
matanya pun melotot kepadanya.
Ia selalu memilih-milih orang saat meminta uang. Saat itu
juga, di malam itu aku tidak diminta uang olehnya. Dari seluruh penumpang bis,
aku sama sekali tak melihat ada yang memberianya uang. Mungkin bisa jadi ada
yang memberi, namun aku yang melewatkannya. Dengan wajah layu, ia pun turun
meninggalkan bis.
Namun di malam berikutnya kami dipertemukan kembali. Aku masih
ingat jelas wajah bocah kecil itu. Tepat semalam, malam rabu ia mendekatiku dan
mencolek kakiku dan berusaha mendapatkan simpati dariku. Aku yang iba
melihatnya, kemudian mengelus kepalanya. Lalu ku tanya, adek namanya siapa ? ia
menjawab , Leon. Leon, Leon ya kataku ? iya, jawabnya. Adek tinggal di mana,
tanyaku. Di Kampung Rambutan, dengan pelan dan begitu lirih ia menjawab. Lalu ku
tanya ulang kembali pertanyaanku untuk memastikannya. Kampung Rambutan ya,
tanyaku. Iyak.. jawabnya.
Dengan penuh iba dan penasaran, ku tanya ia lagi. Leon sudah
kelas berapa, kataku. Belum dimasukin, katanya. Belum dimasukin berarti belum
dimasukkan sekolah. Mendengar jawabannya, aku terdiam sesaat. Ku tatap wajahnya
lalu Leon ku tanya lagi, Leon sekarang umurnya berapa tahun. Delapan, jawabnya.
Makin iba ku mendengarnya dan tak ingin bertanya lebih banyak lagi karena hanya
akan membuatku makin iba, maka ku buka tasku dan ku berinya uang.
Lalu aku berkata padanya, semoga Leon segera bisa cepat
sekolah ya. Ia cuma mengangguk. Kemudian ia jalan ke belakang dan terlihat ia
sudah turun dari bis. Saat berjalan melewati bis, terlihat Leon sedang
menggandeng bocah gadis kecil. Ya gadis kecil yang badannya kurus, jauh lebih
kecil dari Leon. Langkahnya pun tak selincah Leon. Mungkin ia adalah adik Leon,
pikirku. Saat Leon naik bis, entah dititipkannya ke mana adiknya ini karena
Leon selalu terlihat sendiri saat naik bis.
Di usia sedini ini, Leon sudah mengarungi kerasnya kehidupan
jalanan. Dari bis ke bis ia berupaya mencari rizki. Tak semestinya Leon mengarungi kehidupan jalanan yang penuh dengan dengan kekerasan seperti ini . Ia seharusnya menikmati hidupnya sebagaimana anak-anak
lainnya yang hidupnya penuh dengan warna dan tawa. Namun sebaliknya, cercaan,
hinaan dan makian sudah menjadi makanannya sehari-hari. Dari tahun ke tahun,
pemerintah seolah-olah pura-pura buta. Banyak yayasan, lembaga dan tim-tim
bentukan pemerintah seakan-akan menutup mata dan tak peduli.
Semoga pemerintah
lebih peka untuk memperhatikan kehidupan
anak-anak jalanan seperti Leon. Sudah saatnya kita dan pemerintah agar lebih
peka dan peduli kepada kehidupan mereka, karena di jalanan masih banyak bocah-bocah
kecil yang bernasib sama seperti Leon.
MasyaAllah, keren sekali ini...
ReplyDeleteIndanya berbagi...
bener dek.. indahnya berbagi.. ^_^
Delete